KEPRIBADIAN
ATAU SIFAT YANG HARUS DIMILIKI SEORANG DA’I
a. Kepribadian Atau Sifat Yang Harus
Dimilki Oleh Seorang Da’i
Sebelum kita masuk dalam
kepribadian dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai, mari kita
me-refresh kembali ingatan kita mengenai pengertian dai. Di dalam Al-Qur'an kata dai berakar dari دَعَا (da’a), يَدْعُوْ (yad’u), دَعْوَةً (da’watan) dan الداع (dai) isim failnya, orang yang
meminta, orang yang menyeru atau orang yang mengajak pada sesuatu.[1]
Menurut A. Hasjimy,
dalam bukunya dustur dakwah menurut Al-Qur'an, bahwa imam al-ghazali
mengemukakan pendapatnya bahwa dai itu adalah para penasehat, para pemimpin dan
para pemberi ingat, yang memberikan nasehat dengan baik, yang mengarang dan
berkhutbah, yang memusatkan jiwa raganya dalam wa’ad dan wa’id (berita pahala
dan siksa) dan dalam membicarakan kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang
yang karam dalam gelombang dunia.
Dibawah ini kepribadian atau
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai:[2]
1. Amanah (terpercaya)
Amanah (terpercaya) adalah sifat
utama yang harus dimilki oleh seorang dai sebelum sifat-sifat yang lain. Ini
merupakan sifat yang dimilki oleh seluruh nabi dan rasul. Karena amanah selalu
bersamaan dengan ash-shidq (kejujuran), maka tidak ada manusia jujur yang tidak
terpercaya, dan tidak ada manusia terpercaya yang tidak jujur. Dengan demikian mengemban tugas amanah bukanlah suatu perkara
yang ringan dan mudah. Setidaknya hal ini dapat kita lihat dari penolakan yang
dilakukan oleh langit dan gunung-gunung, ketika mereka ditawari oleh Allah SWT
untuk memanggul amanah.
Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanatkepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.”
2. Shidq (jujur)
Adapun shidq yang berarti kejujuran
dan kebenaran, lawan kata dari kedustaan, termasuk antara sifat-sifat dasar
yang menjelaskan potensi dasar seorang pelopor perjuangan.
Hal ini menjadi sangat penting,
karena tanpanya perkataan seseorang tidak akan didengar, terlebih dipercaya.
Jujur berarti benar dalam ucapan sesuai dengan kata hati yang sesungguhnya.
Tidak menutup-nutupi kebenaran ataupun kesalahan. Yang benar dikatakan benar,
dan yang salah diakatakan salah. Adapun tingkatan-tingkatan shidq sebagai
berikut:[3]
Ø
Shidq
dalam perkataan
Merupakan
kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara tutur katanya. Hendaknya ia tidak
berbicara kecuali dengan jujur. Dan kesempurnaan shidqul qaul adalah menjaga
kata-kata yang diplomatis.
Demikianlah,
seorang da’i harus mempunyai kepekaan perasaan atas dirinya, sehingga dalam
setiap kondisi selalu bermunajat kepada rabbnya. Agar kejujuran itu menjadi
pembimbingnya dalam segala sesuatu, dia harus merasa malu kepada allah ketika
lisannya mengucapkan.
Ø Shidq dalam niat dan kehendak
Shidq
dalam niat dan kehendak dikembalikan kepada keikhlasan artinya, tidak ada
motivaasi dalam gerak atau diamnya selain karena Allah SWT. Jika niat seperti
itu disertai dengan keinginan-keinginan nafsu, niscaya kejujurannya menjadi
batal (hilang).
Ø Shidqul “azam (tekad yang benar)
Yaitu
semangat yang kuat, tidak ada kecendrungan lain, tidak melemah dan tidak
ragu-ragu.
Ø Shidq dalam menepati janji
Diantara
orang-orang yang beriman ada orang-orang yang jujur (menepati) apa yang mereka
janjikan kepadan Allah SWT.
Ø Shidq dalam bekerja
Artinya
hendaknya bersungguh-sungguh dalam beramal sehingga apa yang tampak dalam
perbuatannya adalah apa yang ada dalam hatinya. Barang siapa yang memberi
nasehat kepada oarang lain dengan tutur kata yang baik, tetapi hatinya
menginginkan agar ia dikatakan sebagai orang alim, ia telah berbohong dengan perilakunya. Ia tidak jujur, karena
kejujuran beramal adalah sikap yang dalam kedaan sendiri ataupun dihadapan
banyak orang. Artinya, batinya seperti zhahirnya atau bahkan lebih baik
daripada zhahirnya.
Oleh
karena itu, sifat jujur dan amanah saling memperkuat, dan merupakan dua sifat
yang tidak bisa dipisahkan, keduanya berkaitan erat dengan keikhlasan berkut.
3.
Ikhlas
Menurut
DR. Yusuf Al-Qaradhawi, orang yang ikhlas adalah orang yang amal perbuatannya
hanya didasari dengan mengharap keridhoan Allah SWT, membersihkannya dari
segala noda individual mapun duniawi.
Nabi
SAW berkata kepada Mu’adz,
“
ikhlaskanlah amalmu, maka akan cukup bagimu (amal) yang sedikit”
Oleh
karena itu, terapi keikhlasan adalah dengan menghilangkan keinginan-keinginan
nafsu dan memutus sifat tamak terhadap dunia, serta hanya menginginkan akhirat.
Keinginan akan akhirat itulah yang dominan dalam hati. Dengan demikian
keihlasan itu akan mudah diperoleh, karena betapa banyak amalan yang diperbuat
oleh manusia dengan susah payah. Dia mengira bahwa amalan-amalan itu secara
ikhlas dilakukan karena Allah, akan tetapi ternyata ia tertipu, karena ia tidak
melihat bahaya didalamnya. Maka hendaklah seorang dai sangat berhati-hati dan
selalu melakukan introspeksi diri, sehingga dakwahnya benar-benar murni karena
Allah SWT. Hendaklah ia selalu berkata kepada dirinya, katakanlah saya tidak
meminta imbalan (atas dakwahku), tidak ada yang memberi imbalan kepadaku
kecuali (Allah SWT ) tuhan semesta alam.
4.
Sabar
Sabar berarti tabah, tahan uji, tidak
mudah putus asa, tidak tergesa-gesa, juga tdak mudah marah. Seorang da’i yang
menginginkan kebajikan dalam dakwahnya perlu memiliki sifat sabar dalam segala
situasi dan kondisi.
Sabar
merupakan salah satu inti kebahagiaan, sebagaimana dikatakan oleh imam ibnul
qayyim, “inti kebahagiaan itu ada tiga:
§ Apabila mendapat nikmat ia bersyukur
§ Apabila diuju ia sabar
§ Dan apabila ia berbuat dosa maka
beristighfar.”
Selain
itu, jiwa manusia memiliki dua kekuatan: kekuatan untuk maju kedepan, dan
kekutan untuk mengendalikan diri. Hakikat sabar ialah mempergunakan “keuatan
maju kedepan” untuk melakukan sesuatu yang membawa manfaat bagimu, dan
menggukan “kekuatan pengendalian” untuk mencegah diri dari apa-apa yang
membahayakanmu. Dengan demikian setiap muslim akam memiliki keabaran untuk
melaksanakan ketaatan dan kesabaran untuk
meninggalkan maksiat, sehingga dirinya dihiasi dengan akhlak mulia. Sosok
pribadi seperti inilah yang akan mampu mewarnai masyarakat dan memformatnya
dengan fornat Allah SWT.
Sabar
tidak bisa dicapai kecuali dengan tiga hal:
§ Menahan diri dari mengeluh
§ Menahan lisan dari perkataan kotor dan
mengadu domba
§ Menahan anggota badan dari perbuatan
zalim
Dengan
itu, seorang muslim merasa mulia dan bersih hatinya, seakan ia terbang kelangit
bersama para malaikat Allah SWT yang mulia.
5. Hirs (perhatian yang besar)
Seorang da’i harus memilki hirsh (perhatian yang besar) kepada
objek dakwahnya, sampai yang bersangkutan merasakan adanya perhatian yang besar
tersebut. Persaan seperti ini akan mampu membuka hatinya dan menggugah
persaannya, sehingga objek dakwah siap mendengarkan apa yang disampaikannya.
Seorang dai sejati yang ikhlas karena Allah SWT akan merasa
sakit dan meyesal ketika ia melihat hambatan, penghinaan, dan pelecehan manusia
terhadap dakwahnya. Namun, ia tetap beriaman dan meyakini bahwa dakwahnya
adalah dakwah yang haq, dan jalannya adalah jalan yang lurus (benar).
Contoh
sikap hirs
Didalam
kisah nabi Luth a.s kamu bisa melihat perhatia (hirsh) itu tampak didalam perdebatan antara sayyidina
ibrahim dengan para utusan Allah SWT (malaikat) yang pernah datang kepada kaum
luth a.s demikian itu tedapat pada firman Allah SWT,
Artinya : “Maka tatkala rasa takut hilang dari
Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan
(malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu
benar-benar seorang yang Penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada
Allah.”
6. Tsiqah (percaya), punya ingatan yang
kuat
Keimanan
seorang da’i sangat dalam dan kepercayaannya sangat besar terhadap kemenangan
agama. Ia percaya bahwa sesungguhnya islam akan dimenangkan umatnya, merdeka
daulahnya, dan berkibar tinggi panji-panjinya. Ajarannya akan tersebar di
seluruh penjuru bumi dari timur sampai ke barat, betapapun musuh-musuh
terus-menerus membuat makar.
7. Ramah, Hilm, Dan Al-Anat Ramah(kasih
sayang)
Sesungguhnya, sikap kasih sayang dalam segala hal sangat
diharapkan, diskusi dan dianjurkan baik dalam syariat maupun secara akal.
Dengan sikap itu, bermacam-macam keinginan dan kebaikan dapat dicapai, yang
tidak mungkin tercapai dengan cara kekerasan dan kekasaran.
Seorang dai wajib mengetahui bahwa
risalah yang diembannya untuk seluruh manusia ini adalah risalah ramah (kasih
sayang). Ramah (kasih sayang) itu meliputi kasih sayang dalam akidah, syariat,
dan akhlak. Ramah (kasih sayang) tidak akan terwujud kecuali dengan memperhatikan
orang yang di dakwahi. Oleh sebab itu, janganah
membenci mereka, tetapi tanamkan sifat kasih sayang terhadap mereka,
sehingga kamu bisa melihat apa yang mereka tidak bisa melihatnya, dan kamu
dapat membawa mereka kearah kebaikan.
o Hilm (penyantun)
Sesungguhnya
sifat penyantun (hilm) itu merupakan salah satu tanda dari tanda-tanada
kenabian Rasulullah SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abddullah Bin Salam
mengenai kisah zaid bin sa’nah. Abdullha bin salam berkata: “ sesungguhnya
Allah SWT ketiak hendak memberi petunjuk
pada Zaid Bin Sa’nah, Zaid berkata,’tidak ada sedikitpun dari tanad-tanda
kenabian kecuali aku telah melihatnya di wajah muhammad saw ada dua hal yang
akan aku beritahukan, sifat hilmnya mendahului ketidak tahuannya, dan
ketidaktahuan yang sangat itu tidak menambahinya kecuali semakin bersikap
halim. Aku pernah pergi kepadanya untuk berkawan dengannya, maka aku mengetahui
sifat hilmnya dari ketidaktahuannya.
o Al-anat (lemah lembut)
Keberhasilan
dakwah memanage dan mengatur strategi dakwah. Hal ini dapat kita telusuri dari
aplikasi hikmah yang diterapkan rasulullah bukan hanya faktor Ilahiyah (takdir
Allah), tetapi juga disebabkan oleh kelihaian beliau dalam mencermati adanya
perbedaan sarana dan kondisi atau dalam kerangka frame of reference dan field
of experience yang berbeda dari berbagai objek dakwah. Sifat-sifat rasul
yang digambarkan dalam al-Quran seperti kasih sayang.
Artinya : “ sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap
orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah:128)
8. Wa’iy (pengetahuan yang luas)
Wa’iy atau pengetahuan yang luas, adalah kaharusan bagi
seorang dai untuk membekali dirinya dengan berbagai wawasan dan pengetahuan,
baik yang berkaitan dengan agama, pemikiran, politik, ataupun masalah gerakan
dakwah itu sendiri.
Seorang da’i tidak boleh meninggalkan realitas dan
hakikatnya, tidak boleh juga berpegang kepada sesuatu yang berlebihan, karena
dawah membutuhkan akal seorang insiyur yang piawai dan kecerdasan seorang
dokter yang berpengalaman untuk melakukan pembersihan. Kemudian diiringi dengan
menghiasi diri, yaitu degan berbagai keutamaan, sehingga terwujudlah masyarakat
yang diidam-idamkan. Dia tegak diatas perencanaan yang rapi, karena harakah
yang rusak tidak mendatangkan kebaikan dan tidak memberikan manfaat,
sebagaimana tutur kata yang tidak tersusun itu juga tidak membawa pengaruh yang
baik.
Demikianlah, selain membutuhkan fiqih, ilmu, dan
perencanaan, da’i juga membutuhkan dua sayap, yaitu sayap ketakwaan agar ia
benar-benar total dalam beramal kepada Allah SWT dan sayap kepekaan agar ia
dapat terhindar dari tipu daya, rencana jahat, dan makar musuh, betapa banyak
orang yang bertakwa, tetapi ia tidak memiliki kepekaan, sehingga ia jatuh dalam
perangkap musuh, dan betapa banyak dari dai yang tidak memiliki ketakwaan yang
akhirnya tenggelam dalam kenikmatan dunia dan mengikuti hawa nafsunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar