Kamis, 27 November 2014

Memberi Keteladanan Sebelum Berdakwah
(Al Qudwah Qabla Ad’ Da’wah)
a.      Pengertian
perilaku dan amal para dai adalah cerminan dari dakwahnya. oleh karena itu, Allah mengutus Nabi SAW sebagai Rasul-Nya untuk menjadi teladan umat manusia. Allah menghendaki utusanNya yang menjadi teladan dalam perilaku, ibadah, muamalah, dan kebiasaan sehari-hari. jadi, wajib bagi seorang dai untuk mempelajari perjalanan hidup Rasulullah. Karena sirah nabawiyah menceritakan kita tentang kepribadian manusia yang dimuliakan Allah sehingga menjadi teladan yang paling sempurna bagi orang-orang beriman bahkan menjadi tokoh idola umat manusia. keteladanan Rasulullah bukan sekedar untuk dibanggakan, tetapi untuk diikuti umat manusia sesuai kemampuan masing-masing. karena islam melihat bahwa keteladanan merupakan sarana dakwah dan pendidikan paling efektif.[1]
Firman Allah dalam (QS. AS Shaf 61 : 2-3)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ   uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs? ÇÌÈ  
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
Dari ayat diatas dapat kita ketahui bahwa memberi keteladana sebelum berdakwah adalah bahwa kita sebagai seorang da’i haruslah terlebih dahulu yang melaksanakan apa yang nantinya akan kita dakwah atau kita serukan kepada mad’u atau dalam ilmu komunikasi ini dinamakan bagaimana baiknya integritas kita menurut pandangan mad’u karna dalam komunikasi yang akan diterima itu tidak hanya apa yang disampaikan saja namun siapa yang menyampaikannya juga.
Nabi juga terus memperluas dakwahnya sebagaimana yang telah disaksikan oleh dunia. Dakwah yang mampu menegakkan eksistensi kemanusiaan secara utuh manusia telah melihat sendiri betapa rasuullah memiliki sifat yang baiak. Dan akirny mereka percaya dengan kebenaran prinsip prinsip yang konkrit dan aktual yang dibawakan oleh rasulullah.  Karaena mereka telah melihat langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana rasulullah telah melaksanakan prinsip prinsip tersebut sehingga jiwa mereka tergerak dan perasaan mereka menggelora ingin meneladani rasulullah sesuai dengan kemampuan mereka masin masing.
b.      Bentuk Keteladanan Sebelum Berdakwah[2]
·         Keteladanan Manusiawi.
Para dai ibarat pelita di kegelapan malam. Mereka adalah imam yang membawa petunjuk bagi umat yang dipimpinnya. Perilaku dan amal ibadah adalah cerminan dari dakwahnya. Mereka adalah teladan dalam pembicaraan dan amal. Oleh karena itu, mereka harus mau mempelajari sifat-sifat rasulullah. Mereka wajib mempelajari perjalanan hidup rasulullah karena perjalanan hidup beliau menceritakan kepribadian yang mulia sehingga dapat menjadi teladan yang baik bagi manusia.
·         Keteladanan untuk diikuti.
Islam menampilkan keteladanan yang baik bagi umat manusia agar bisa diikuti dan diaplikasikan dalam diri mereka sesuai kemampuan masing-masing individu. Karena keteladanan menjadi sarana dakwah dan pendidikan yang paling efektif.
·         Keteladanan; itu yang pertama.
Masyarakat harus memperoleh teladan dari pemimpinnya agar mereka dapat melihat langsung prinsip-prinsip kebaikan tersebut lalu merealisasikannya dalam diri mereka. Dakwah melalui keteladanan akan lebih bermakna ketimbang melalui teori atau lisan saja.
·         Mulailah dari diri sendiri.
Sebelum mengajak orang lain, seorang mukmin harus memulainya dulu. Ketika menjadi dai, ulama, atau aktivis dakwah yang ikhlas, maka dia harus menjadi teladan yang baik terhadap apa yang didakwahkannya. Jika tidak demikian, tidak akan ada yang mau mendengar kata-katanya serta tidak bermanfaat ilmunya dan orang tersebut tidak melihatnya dengan hormat kecuali sikapnya sesuai dengan apa yang digariskan Allah.
·         Antara tukang bicara dan pekerja.
Suatu manhaj Allah tidak akan terealisasi jika tidak ada orang yang berkomitmen untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, Nabi tampil sebagai teladan bagi manusia baik ucapan maupun perbuatan. Imam Hasan Al-Banna berkata, “Sesungguhnya tukang bicara itu berbeda dari ahli amal dan ahli beramal berbeda dengan ahli jihad, dan ahli jihad berbeda pula dari ahlli jihad yang produktif dan bijaksana. Dia memperoleh keuntungan yang gemilang dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.” Hendaknya para dai menjadi teladan dimana pun berada sehingga nampak risalah yang dibawanya untuk manusia. Dengan demikian, masyarakat sekitar akan merasakan keterlibatannya dalam gerakan dakwah ini.
·         Peringatan untuk para dai.
Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Quran, menafsirkan QS Al-Baqarah: 44, sesungguhnya bahaya para tokoh agama (Rijal Ad-Din) adalah ketika agama telah berubah menjadi profesi. Saat itu agama bukan sebagai akidah yang memotivasi. Mereka berbicara yang tidak sesuai dengan hati, mereka memerintah namun tidak melakukannya sendiri. Mereka melarang namun mereka mengabaikan. Mereka mengubah kalam demi hawa nafsunya. Mereka memberi fatwa sesuai nash namun berbeda dengan hakikat agama. Oleh karena itu, dai harus jujur dan bersungguh-sungguh introspeksi diri agar selalu istiqamah taat di jalan Allah.
·         Awas murka Allah.
Tanda orang munafik adalah jika berjanji mengingkari, jika berbicara dusta, dan jika dipercaya berkhianat. Amal yang paling dicintai Allah adalah beriman kepada Nya dengan tidak ada keraguan sedikit pun, kemudian berjihad (memerangi) orang-orang bermaksiat pada-Nya (orang yang tidak beriman dan menentang-Nya).
·         Sejak bersama jiwa.
Sifat terpenting yang dimiliki seorang dai adalah jujur dan istiqamah sehingga apa yang tampak pada lahir sama dengan batin. Tanggung jawab seorang dai kepada masyarakat semestinya tidak mengabaikan tanggung jawab terhadap diri sendiri. Kesibukan memperbaiki manusia, semestinya tidak melupakannya untuk memperbaiki diri sendiri. Karena kewajiban mereka adalah memenuhi tanggung jawab terhadap diri mereka, baru kemudian terhadap masyarakat.
·         Pelajaran untuk pembinaan.
Arahan seorang dai bisa diingat, juga bisa terlupakan namun jika pribadi dai itu bisa menjadi teladan yang baik, maka dia akan lekat diingat. Keteladanan yang baik merupakan dakwah amaliyah bukan hanya lisan, yang berarti dakwah dengan perilaku sebelum dakwah dengan perkataan. Dan hendaknya pemikiran, tulisan, dan perkataan dai dapat dijelmakan menjadi gerakan sekaligus mengubah kehidupan.
·         Takut kepada Allah.
Seorang dai harus sama antara lahir dan batinnya. Ia selalu muhasabah dalam segala urusan dan gerak langkah, bahkan dalam diamnya bermuhasabah melihat kekurangan dan kesalahannya. Ia memelihara dirinya dan membersihkan hatinya serta bermuhasabah terhadap seluruh anggota badannya. Senantiasa menjaga perasaannya dan takut jika dia larut dalam angan-angan. Seorang dai yang sukses adalah dai yang mengajak kepada kebenaran dengan perilakunya meski hanya sedikit bicara. Karena pribadinya menjadi contoh yang hidup dan bergerak, menggerakan prinsip yang diyakininya.
·         Kemenangan palsu.
Orang-orang yang kalah dalam peperangan, bisa jadi menerimanya, namun belum tentu mereka akan mengikuti kita dengan ikhlas dalam perasaan maupun pemikiran. Karena itu, yakinlah bahwa keteladanan satu-satunya jalan untuk memudahkan tersebarnya dakwah di segala sektor kehidupan. Para dai yang berhasil membuka kemenangan adalah orang-orang yang akidahnya mantap dan keluhan perilakunya menakjubkan. Mereka adalah teladan yang baik dalam kemuliaan dan keadilan.
·         Tugas mulia.
Para dai mengemban tugas para Nabi. Mereka tidak boleh mengharap selain ridho Allah. Mereka yang paling berhak diikuti pola hidup dan petunjuknya serta dijadikan teladan baik ketika hidup atau sesudah matinya. Idealnya, seorang dai adalah orang yang cerdas akalnya, bersih hatinya, baik dalam muamalah maupun sesama, menepati janji, istiqamah, dan kebajikannya telah dikenal sejak muda sebelum dakwahnya. Sesungguhnya yang ditampilkan oleh Nabi adalah kepemimpinan yang bijaksana dan benar. Semua berjalan dengan petunjuk dan bimbingan langsung dari Allah.

c.       Ruang Lingkup dan Tujuanya
Dalam sebuah hadist Rasulullah[3] :
Diceritakan kepada kita Ali, diceritakn kepada kami Sufyan, dari ‘amasy dari abi wa’il dia berkata: telah di ucapkan kepada usamah bahwa Pada hari kiamat kelak, ada seseorang yang dihadapkan (kepada Allah), lLu ia dilemparkan ke dalam neraka. Di neraka ini, isi perut dan ususnya berhamburan keluar. Ia berputar-putar seperti keledai mengelilingi batu penggilingan. Dikatakan kepadanya, : “p yng terjada pada dirimu, padahal dahulu kamu suka memerintahkan kita untuk berbuat kebaikan dan mencegah kita dari keburukan ?” ia menjawab , “memang dahulu aku suka memerintahkan kalian berbuat kebaian, tetapi saya sendiri tidak melaksanakannya, dan saya juga melarang kalian berbuat keburukan, tatapi saya sendiri justru melaksanakannya”.
keteladanan dilihat dari perilaku. Seorang anak membutuhkan teladan/ contoh yang baik dari keluarganya, keluarga membutuhkan teladan dari masyarakat, masyarakat membutuhkan teladan dari pemimpinnya. Bagaimana mungkin seorang pendusta mendakwahi rakyatnya untuk bersikap jujur? Berdakwah tanpa keteladanan tidak akan memberi arti apa-apa, tidak akan didengarkan, bahkan meninggalkan pengaruh buruk pada diri objek dakwah.
Keteladanan harus dimulai dari diri sendiri. Seorang mukmin sejati wajib memulai sesuatu dari dirinya sebelum dia mengajak orang lain, sehingga akan terlihat dengan jelas bahwa dai melakukan apa yang ia katakan, bukan hanya menjadi tukang bicara. Para dai hendaklah menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat tujuanya agar risalah yang mereka dakwahkan tergambar dalam langkah-langkah mereka. Yang berbahaya adalah apabila agama telah berubah menjadi profesi, bukan lagi sebagai akidah serius yang mampu memotivasi.
Karena dakwah yang hanya menjadi profesi adalah dakwah yang akan muncul tanpa ruh, tidak muncul dari hati. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap dai untuk mengekspresikan setiap nilai yang hendak disampaikan dalam dakwah melalu ucapan dan perbuatan. Dari sinilah, dai wajib untuk bersungguh-sungguh menginstrospeksi diri, sehingga dapat selalu istiqomah dalam ketaatannya, karena jika demikian, apa yang tampak pada lahir sama dengan batin.
Tanggung jawab para dai terhadap masyarakatnya seharusnya tidak melupakan tanggung jawab mereka terhadap diri mereka sendiri. Kesibukan untuk memperbaiki manusia seharusnya tidak memalingkannya dari memperbaiki keadaan mereka sendiri. Hendaknya para dai memelihara dirinya dan membersihkan hatinya serta bermuhasabah terhadap seluruh anggota badannya dengan melakukan perenungan sejenak disela-sela waktunya. Dengan selalu berterus terang pada diri sendiri pula, keteladanan dai tidak mudah terlupakan oleh objek dakwah. Keteladanan yang baik itu merupakan dakwah amaliyah dan bukan dakwah lisan saja. Keteladanan berarti dakwah dengan perilaku sebelum dakwah dengan perkataan.



[1] Aziz, Jum’ah Amin Abdul. 2005. Fiqh Dakwah. Era Intermedia: Surakarta hal 176

[2] Op.cit.2005. Fiqh Dakwah. Era Intermedia: Surakarta hal 176-183
[3] lubbna.wordpress.com/beberapa-kaidah-dari-ushul-fiqih-bimbingan-untuk-dai//2012/09/16

KEPRIBADIAN ATAU SIFAT YANG HARUS DIMILIKI SEORANG DA’I

KEPRIBADIAN ATAU SIFAT YANG HARUS DIMILIKI SEORANG DA’I

a.      Kepribadian Atau Sifat Yang Harus Dimilki Oleh Seorang Da’i
Sebelum kita masuk dalam kepribadian dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai, mari kita me-refresh kembali ingatan kita mengenai pengertian dai.  Di dalam Al-Qur'an kata dai berakar dari دَعَا (da’a), يَدْعُوْ (yad’u), دَعْوَةً (da’watan) dan الداع (dai) isim failnya, orang yang meminta, orang yang menyeru atau orang yang mengajak pada sesuatu.[1]
Menurut A. Hasjimy, dalam bukunya dustur dakwah menurut Al-Qur'an, bahwa imam al-ghazali mengemukakan pendapatnya bahwa dai itu adalah para penasehat, para pemimpin dan para pemberi ingat, yang memberikan nasehat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan jiwa raganya dalam wa’ad dan wa’id (berita pahala dan siksa) dan dalam membicarakan kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.
Dibawah ini kepribadian atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai:[2]
1.      Amanah (terpercaya)
Amanah (terpercaya) adalah sifat utama yang harus dimilki oleh seorang dai sebelum sifat-sifat yang lain. Ini merupakan sifat yang dimilki oleh seluruh nabi dan rasul. Karena amanah selalu bersamaan dengan ash-shidq (kejujuran), maka tidak ada manusia jujur yang tidak terpercaya, dan tidak ada manusia terpercaya yang tidak jujur. Dengan demikian  mengemban tugas amanah bukanlah suatu perkara yang ringan dan mudah. Setidaknya hal ini dapat kita lihat dari penolakan yang dilakukan oleh langit dan gunung-gunung, ketika mereka ditawari oleh Allah SWT untuk memanggul amanah.
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.”
2.      Shidq (jujur)
Adapun shidq yang berarti kejujuran dan kebenaran, lawan kata dari kedustaan, termasuk antara sifat-sifat dasar yang menjelaskan potensi dasar seorang pelopor perjuangan.
Hal ini menjadi sangat penting, karena tanpanya perkataan seseorang tidak akan didengar, terlebih dipercaya. Jujur berarti benar dalam ucapan sesuai dengan kata hati yang sesungguhnya. Tidak menutup-nutupi kebenaran ataupun kesalahan. Yang benar dikatakan benar, dan yang salah diakatakan salah. Adapun tingkatan-tingkatan shidq sebagai berikut:[3]
Ø  Shidq dalam perkataan
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara tutur katanya. Hendaknya ia tidak berbicara kecuali dengan jujur. Dan kesempurnaan shidqul qaul adalah menjaga kata-kata yang diplomatis.
Demikianlah, seorang da’i harus mempunyai kepekaan perasaan atas dirinya, sehingga dalam setiap kondisi selalu bermunajat kepada rabbnya. Agar kejujuran itu menjadi pembimbingnya dalam segala sesuatu, dia harus merasa malu kepada allah ketika lisannya mengucapkan.

Ø  Shidq dalam niat dan kehendak
Shidq dalam niat dan kehendak dikembalikan kepada keikhlasan artinya, tidak ada motivaasi dalam gerak atau diamnya selain karena Allah SWT. Jika niat seperti itu disertai dengan keinginan-keinginan nafsu, niscaya kejujurannya menjadi batal (hilang).
Ø  Shidqul “azam (tekad yang benar)
Yaitu semangat yang kuat, tidak ada kecendrungan lain, tidak melemah dan tidak ragu-ragu.
Ø  Shidq dalam menepati janji
Diantara orang-orang yang beriman ada orang-orang yang jujur (menepati) apa yang mereka janjikan kepadan Allah SWT.
Ø  Shidq dalam bekerja
Artinya hendaknya bersungguh-sungguh dalam beramal sehingga apa yang tampak dalam perbuatannya adalah apa yang ada dalam hatinya. Barang siapa yang memberi nasehat kepada oarang lain dengan tutur kata yang baik, tetapi hatinya menginginkan agar ia dikatakan sebagai orang alim, ia telah berbohong  dengan perilakunya. Ia tidak jujur, karena kejujuran beramal adalah sikap yang dalam kedaan sendiri ataupun dihadapan banyak orang. Artinya, batinya seperti zhahirnya atau bahkan lebih baik daripada zhahirnya.
Oleh karena itu, sifat jujur dan amanah saling memperkuat, dan merupakan dua sifat yang tidak bisa dipisahkan, keduanya berkaitan erat dengan keikhlasan berkut.
3.      Ikhlas
        Menurut DR. Yusuf Al-Qaradhawi, orang yang ikhlas adalah orang yang amal perbuatannya hanya didasari dengan mengharap keridhoan Allah SWT, membersihkannya dari segala noda individual mapun duniawi.
        Nabi SAW berkata kepada Mu’adz,
“ ikhlaskanlah amalmu, maka akan cukup bagimu (amal) yang sedikit”
Oleh karena itu, terapi keikhlasan adalah dengan menghilangkan keinginan-keinginan nafsu dan memutus sifat tamak terhadap dunia, serta hanya menginginkan akhirat. Keinginan akan akhirat itulah yang dominan dalam hati. Dengan demikian keihlasan itu akan mudah diperoleh, karena betapa banyak amalan yang diperbuat oleh manusia dengan susah payah. Dia mengira bahwa amalan-amalan itu secara ikhlas dilakukan karena Allah, akan tetapi ternyata ia tertipu, karena ia tidak melihat bahaya didalamnya. Maka hendaklah seorang dai sangat berhati-hati dan selalu melakukan introspeksi diri, sehingga dakwahnya benar-benar murni karena Allah SWT. Hendaklah ia selalu berkata kepada dirinya, katakanlah saya tidak meminta imbalan (atas dakwahku), tidak ada yang memberi imbalan kepadaku kecuali (Allah SWT ) tuhan semesta alam.
4.      Sabar
        Sabar berarti tabah, tahan uji, tidak mudah putus asa, tidak tergesa-gesa, juga tdak mudah marah. Seorang da’i yang menginginkan kebajikan dalam dakwahnya perlu memiliki sifat sabar dalam segala situasi dan kondisi.
Sabar merupakan salah satu inti kebahagiaan, sebagaimana dikatakan oleh imam ibnul qayyim, “inti kebahagiaan itu ada tiga:
§  Apabila mendapat nikmat ia bersyukur
§  Apabila diuju ia sabar
§  Dan apabila ia berbuat dosa maka beristighfar.”
Selain itu, jiwa manusia memiliki dua kekuatan: kekuatan untuk maju kedepan, dan kekutan untuk mengendalikan diri. Hakikat sabar ialah mempergunakan “keuatan maju kedepan” untuk melakukan sesuatu yang membawa manfaat bagimu, dan menggukan “kekuatan pengendalian” untuk mencegah diri dari apa-apa yang membahayakanmu. Dengan demikian setiap muslim akam memiliki keabaran untuk melaksanakan ketaatan  dan kesabaran untuk meninggalkan maksiat, sehingga dirinya dihiasi dengan akhlak mulia. Sosok pribadi seperti inilah yang akan mampu mewarnai masyarakat dan memformatnya dengan fornat Allah SWT.
Sabar tidak bisa dicapai kecuali dengan tiga hal:
§  Menahan diri dari mengeluh
§  Menahan lisan dari perkataan kotor dan mengadu domba
§  Menahan anggota badan dari perbuatan zalim
Dengan itu, seorang muslim merasa mulia dan bersih hatinya, seakan ia terbang kelangit bersama para malaikat Allah SWT yang mulia.
5.      Hirs (perhatian yang besar)
      Seorang da’i harus memilki hirsh (perhatian yang besar) kepada objek dakwahnya, sampai yang bersangkutan merasakan adanya perhatian yang besar tersebut. Persaan seperti ini akan mampu membuka hatinya dan menggugah persaannya, sehingga objek dakwah siap mendengarkan apa yang disampaikannya.
      Seorang dai sejati yang ikhlas karena Allah SWT akan merasa sakit dan meyesal ketika ia melihat hambatan, penghinaan, dan pelecehan manusia terhadap dakwahnya. Namun, ia tetap beriaman dan meyakini bahwa dakwahnya adalah dakwah yang haq, dan jalannya adalah jalan yang lurus (benar).
Contoh sikap hirs
Didalam kisah nabi Luth a.s kamu bisa melihat perhatia (hirsh) itu  tampak didalam perdebatan antara sayyidina ibrahim dengan para utusan Allah SWT (malaikat) yang pernah datang kepada kaum luth a.s demikian itu tedapat pada firman Allah SWT,
 Artinya : “Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang Penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.”

6.      Tsiqah (percaya), punya ingatan yang kuat
Keimanan seorang da’i sangat dalam dan kepercayaannya sangat besar terhadap kemenangan agama. Ia percaya bahwa sesungguhnya islam akan dimenangkan umatnya, merdeka daulahnya, dan berkibar tinggi panji-panjinya. Ajarannya akan tersebar di seluruh penjuru bumi dari timur sampai ke barat, betapapun musuh-musuh terus-menerus membuat makar.

7.      Ramah, Hilm, Dan Al-Anat Ramah(kasih sayang)
      Sesungguhnya, sikap kasih sayang dalam segala hal sangat diharapkan, diskusi dan dianjurkan baik dalam syariat maupun secara akal. Dengan sikap itu, bermacam-macam keinginan dan kebaikan dapat dicapai, yang tidak mungkin tercapai dengan cara kekerasan dan kekasaran.
      Seorang dai wajib mengetahui bahwa risalah yang diembannya untuk seluruh manusia ini adalah risalah ramah (kasih sayang). Ramah (kasih sayang) itu meliputi kasih sayang dalam akidah, syariat, dan akhlak. Ramah (kasih sayang) tidak akan terwujud kecuali dengan memperhatikan orang yang di dakwahi. Oleh sebab itu, janganah  membenci mereka, tetapi tanamkan sifat kasih sayang terhadap mereka, sehingga kamu bisa melihat apa yang mereka tidak bisa melihatnya, dan kamu dapat membawa mereka kearah kebaikan.
o   Hilm (penyantun)
Sesungguhnya sifat penyantun (hilm) itu merupakan salah satu tanda dari tanda-tanada kenabian Rasulullah SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abddullah Bin Salam mengenai kisah zaid bin sa’nah. Abdullha bin salam berkata: “ sesungguhnya Allah SWT ketiak  hendak memberi petunjuk pada Zaid Bin Sa’nah, Zaid berkata,’tidak ada sedikitpun dari tanad-tanda kenabian kecuali aku telah melihatnya di wajah muhammad saw ada dua hal yang akan aku beritahukan, sifat hilmnya mendahului ketidak tahuannya, dan ketidaktahuan yang sangat itu tidak menambahinya kecuali semakin bersikap halim. Aku pernah pergi kepadanya untuk berkawan dengannya, maka aku mengetahui sifat hilmnya dari ketidaktahuannya.
o   Al-anat (lemah lembut)
Keberhasilan dakwah memanage dan mengatur strategi dakwah. Hal ini dapat kita telusuri dari aplikasi hikmah yang diterapkan rasulullah bukan hanya faktor Ilahiyah (takdir Allah), tetapi juga disebabkan oleh kelihaian beliau dalam mencermati adanya perbedaan sarana dan kondisi atau dalam kerangka frame of reference dan field of experience yang berbeda dari berbagai objek dakwah. Sifat-sifat rasul yang digambarkan dalam al-Quran seperti kasih sayang.
Artinya : “ sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”(QS. At-Taubah:128)

8.      Wa’iy (pengetahuan yang luas)
Wa’iy atau pengetahuan yang luas, adalah kaharusan bagi seorang dai untuk membekali dirinya dengan berbagai wawasan dan pengetahuan, baik yang berkaitan dengan agama, pemikiran, politik, ataupun masalah gerakan dakwah itu sendiri.
Seorang da’i tidak boleh meninggalkan realitas dan hakikatnya, tidak boleh juga berpegang kepada sesuatu yang berlebihan, karena dawah membutuhkan akal seorang insiyur yang piawai dan kecerdasan seorang dokter yang berpengalaman untuk melakukan pembersihan. Kemudian diiringi dengan menghiasi diri, yaitu degan berbagai keutamaan, sehingga terwujudlah masyarakat yang diidam-idamkan. Dia tegak diatas perencanaan yang rapi, karena harakah yang rusak tidak mendatangkan kebaikan dan tidak memberikan manfaat, sebagaimana tutur kata yang tidak tersusun itu juga tidak membawa pengaruh yang baik.
Demikianlah, selain membutuhkan fiqih, ilmu, dan perencanaan, da’i juga membutuhkan dua sayap, yaitu sayap ketakwaan agar ia benar-benar total dalam beramal kepada Allah SWT dan sayap kepekaan agar ia dapat terhindar dari tipu daya, rencana jahat, dan makar musuh, betapa banyak orang yang bertakwa, tetapi ia tidak memiliki kepekaan, sehingga ia jatuh dalam perangkap musuh, dan betapa banyak dari dai yang tidak memiliki ketakwaan yang akhirnya tenggelam dalam kenikmatan dunia dan mengikuti hawa nafsunya.




[1] Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Dai, Amzah,Jakarta: 2008, h. 162
[2] Salmadanis. 2004. Dai dan Kepemimpinan. Minangkabau Foudation: Jakarta- Barat h.94-117
[3] Ummi.or.id/ keutamaan-dakwahfadhailaddawah artikel, minggu tanggal 24 02 2013 jam 13.24